INTERNALISASI BELAJAR DAN SPESIALISASI
PEMUDA
Masa
muda adalah waktu
hidup antara masa
kanak-kanak dan dewasa ( maturity ). Definisi rentang usia tertentu
yang merupakan pemuda bervariasi. Kematangan yang sebenarnya individu mungkin
tidak sesuai dengan usia kronologis mereka, sebagai individu dewasa bisa eksis
di segala usia.
Seringkali
pemuda dikaitkan dengan semangat, kesegaran atau ketidakdewasaan.
PENGGUNAAN
Di seluruh dunia,
istilah "pemuda", "remaja", "remaja",
"anak", dan "orang muda" yang dipertukarkan, yang sering
berarti hal yang sama, kadang-kadang dibedakan. Pemuda umumnya mengacu pada
waktu hidup yang bukan kanak-kanak atau dewasa , melainkan suatu
tempat di-antara. Pemuda juga mengidentifikasi pola pikir tertentu sikap,
seperti dalam "Dia sangat muda ful". Para pemuda Istilah ini
juga berhubungan dengan menjadi muda .
"Dunia
ini menuntut kualitas pemuda: bukan waktu hidup tetapi keadaan pikiran, marah
kehendak, kualitas imajinasi, dominasi atas keberanian timidity, dari nafsu
untuk petualangan selama umur kemudahan." - Robert Kennedy
Pemuda adalah kata
alternatif ilmiah yang berorientasi remaja dan ketentuan umum dari remaja dan
remaja. Judul lain yang umum untuk pemuda adalah orang muda atau remaja.
Penduduk berusia di bawah 15 tahun pada tahun 2005
Pemuda adalah tahap
membangun Konsep Diri . Konsep diri remaja
dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti rekan-rekan, gender gaya hidup, dan
budaya. Ini adalah waktu dari kehidupan orang-orang yang mereka membuat
pilihan-pilihan yang akan mempengaruhi masa depan mereka.
12 Agustus dinyatakan
Hari Pemuda Internasional
oleh PBB .
SOSIALISASI
Sosialisasi
adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai
dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok
atau masyarakat.
Sejumlah sosiolog
menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory).
Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan
oleh individu.
JENIS SOSIALISASI
Berdasarkan jenisnya,
sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan
sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses
tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat
bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam
situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun
tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara
formal.
- Sosialisasi primer
Peter L. Berger
dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi
pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota
masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5
tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah.
Anak mulai mengenal
anggota keluarga
dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya
dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini,
peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab
seorang anak melakukan pola interaksi
secara terbatas di dalamnya. Warna
kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian
dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
- Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder
adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang
memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat.
Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi.
Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru.
Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan'
identitas diri yang lama.
TIPE SOSILISASI
Setiap kelompok masyarakat
mempunyai standar dan nilai yang berbeda.
contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di
kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah,
misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau
tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan,
seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu.
Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada.
Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai
berikut.
- Formal
Sosialisasi tipe ini
terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku
dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
- Informal
Sosialisasi tipe ini
terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti
antara teman, sahabat, sesama anggota
klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.
Baik
sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada
pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di
lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa
bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan
sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan
adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa
yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya
untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang
baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau
tidak?
Meskipun
proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat
suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi
formal dan informal sekaligus.
Sosiologi
dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi
partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization)
menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari
sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan
imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi
yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi
terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant
other.
Sosialisasi
partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola
di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan
imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan.
Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi
bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak.
Keluarga menjadi generalized other.
PROSES
SOSIALISASI
Menurut
George Herbert Mead
George Herbert Mead
berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui
tahap-tahap sebagai berikut.
- Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami
sejak manusia
dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia
sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri.
Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak
sempurna.
Contoh: Kata
"makan" yang diajarkan ibu
kepada anaknya yang masih balita diucapkan
"mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak.
Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan
kenyataan yang dialaminya.
- Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai
dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan
oleh orang dewasa.
Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang
tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang
dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan
kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai
terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak
orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang
yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana
anak menyerap norma dan nilai.
Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant
other)
- Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang
dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran
yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya
menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan
adanya kemampuan bermain
secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga
dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini
lawan berinteraksi
semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan
dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di
luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu,
anak mulai menyadari bahwa ada norma
tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
- Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini
seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat
menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia
dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi
dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya
peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak
dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini
telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Menurut
Charles H. Cooley
Cooley lebih
menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self
concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain.
Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga
tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan
bagaimana kita di mata orang lain.'
Seorang anak merasa
dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak
memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan
bagaimana orang lain menilai kita.'
Dengan pandangan
bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang
lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada
tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya.
MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau
orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan
ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila
dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini
bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa
ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan
kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya
penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan
penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di
atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan
berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya.
Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan
memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang
terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
AGEN SOSIALISASI
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan
atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga,
kelompok bermain, media massa, dan lembaga
pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan
dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin
saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen
sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok,
meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi
mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila
pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan
atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat,
sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena
dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
- Keluarga (kinship)
Bagi keluarga
inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara
kandung, dan saudara angkat yang belum menikah
dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah.
Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi
lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga
yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti.
Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan
oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak.
Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat
sosiologisnya, misalnya pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger
peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat
besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang
tuanya sendiri.
- Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain)
pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada
awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif,
namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga.
Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja.
Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian
seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang
melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan),
sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola
interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu,
dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan
orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
- Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan
formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga
dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence),
prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity).
Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam
melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah
sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung
jawab.
- Media massa
Yang termasuk kelompok media
massa di sini adalah media cetak (surat
kabar, majalah, tabloid),
media elektronik (radio, televisi, video, film).
Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan
yang disampaikan.
Contoh:
·
Penayangan acara SmackDown! di
televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam
beberapa kasus.
·
Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola
konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
·
Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun
media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan
segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan
seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan
kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.
- Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah,
kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama,
tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat,
dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya
sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas
dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen
ini sangat besar.
Sosialisasi Pemuda
Melalui proses sosialisasi, seorang pemuda akna terwarnai
cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan dmeikian, tingkah laku
seseorang akan dapat diramalkan. Dengan proses sosialisasi, seseorang menjadi
tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan
lingkungan budayanya. Dari keadaan tidak atau belum tersosialisasi, menjadi
manusia masyarakat dan beradab. Kedirian dan kepribadian melalui proses
sosialisasi dapat terbentuk. Dalam hal ini sosialisasi diartikan sebagai proses
yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri, bagaiman cari
hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya gar dapat berperan dan berfungsi
dalam kelompoknya. Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan
dari anggota masyarakat dan hubungannya degnan sistem sosial.
Proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan
kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Berbeda dengan inkulturasi
yang mementingkan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan dalam jiwa individu,
sosialisasi dititik beratkan pada soal individu dalam kelompok melalui
pendidikan dan perkembangannya. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan
kedirian dan kepribadian seseorang. Kedirian (self) sebagai suatu prosuk
sosialisasi, merupakan kesadaran terhadap diri sendri dan memandang adanya
pribadi orang lain di luar dirinya. Kesadaran terhadap diri sendiri membuat
timbulnya sebutan “aku” atau “saya” sebagai kedirian subyektif yang sulit
dipelajari. Asal mula timbulnya kedirian :
1. Dalam proses sosialisasi mendapat bayangan dirinya,
yaitu setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan
dirinya. Misalnya ia tidak disukai, tidak dihargai, tidak dipercaya; atau
sebaliknya, ida disayangi, baik budi dandapt dipercaya
2. Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian yang
ideal. Orang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus ia lakukan
agar memperoleh penghargaan dari orang lain. Bentuk-bentuk kedirian ini berguna
dalam meningkatkan ketaatan anak terhadap norma-norma sosial
Bertitik
tolak dari pengertian pemuda, maka sosialisasi pemuda dimulai dari umur 10
tahun dalam lingkungan keluarga, tetangga, sekolah, dan jalur organisasi formal
atau informal untuk berperan sebagai mahluk sosial, makhluk individual bagi
pemuda .
Internalisasi belajar dan sosialisasi
sosial.
istilah internasilasasi lebih ditekankan pada norma-nroma individu yang
menginternasilasikan norma-norma tersebut. Istilah belajar ditekankan pada
perubahan tingkah laku, yang semula tidak dimiliki sekarang telah dimiliki oleh
seorang individu. istilah spesialisasi ditekankan pada kekhususan yagn telah
dimiliki oleh seorang individu, kekhususan timbul melalui proses yang agak
panjang dan lama.
Peranan sosial mahasiswa dan pemuda di masyarakat
Pada masa 1990 sampai 2000 an demonstrasi masih marak di berbagai tempat. Pada masa itu mahasiswa dan pemuda menyebutkan dirinya sebagai Gerakan Moral. Sedangkan pada mahasiswa yang lain gerakan mahasiswa menyebutkan dirinya sebagai gerakan Politik.Mahasiswa menjadi pecah dan terkadang pragmatis. Tidak menjadi rahasia umum lagi mahasiswa dibayar untuk berdemonstrasi.
Sebelum terlalu jauh meneropong peranan mahasiswa di luar kampus– walaupun klise– sebaiknya kita mesti ingat bahwa tugas utama mahasiswa dan pemuda adalah belajar di sekolah/kampus.
Peranan sosial mahasiswa dan pemuda di masyarakat, kurang lebih sama dengan peran warga yang lainnnya di masyarakat. Mahasiswa mendapat tempat istimewa karena mereka dianggap kaum intelektual yang sedang menempuh pendidikan. Pada saatnya nanti sewaktu mahasiswa lulus kuliah, ia akan mencari kerja dan menempuh kehidupan yang relatif sama dengan warga yang lain.
Paradigma pasar mengubah cara berpikir dan persepsi masyarakat. Dominasi kapitalisme memutarbalikkan hubungan antara masyarakat (sosial) dan Pasar (ekonomi) (Polanyi, 1957).
Pada awal beroperasinya kapitalisme, pasar merupakan bagian dari masyarakat. Operasionaliasi norma-norma pasar berakar dan dibatasi norma sosial, kultural, dan politik. Masyarakat merupakan pemegang kunci dalam hubungan sosial dan ekconomi. Tapi ketika kapitalisme mendominasi, keberadaan pasar telah berbalik 180 derajat, masyarakatlah yang menjadi bagian dari pasar. kehidupan sehari-hari pun direduksi menjadi bisnis dan pasar.
Dampak langsung yang bisa dirasakan semenjak kenaikan BBM tahun 2005 antara lain terjadi inflasi, daya beli masyarakat menurun, kesehatan masyarakat menurun (kekurangan gizi), angka anak putus sekolah (drop out), angka kematian anak, pengangguran dan kemiskinan meningkat, sehingga munculnya kerentanan sosial.
Keadaan di atas dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya generasi yang hilang (the lost generation) ungkapan yang telah nyaris menjadi klise, jika persoalan anak dan orang muda tidak dapat diatasi dengan baik khususnya di sektor Gizi dan kesehatan serta pendidikan, maka kita akan kehilangan sebuah generasi. Kehilangan generasi mempunyai implikasi yang luas mereka mungkin tidak akan mampu menyisakan pendapatannya untuk memperbaiki kesejahteraanya sendiri hingga lingkaran setan pun terjadi karena Gizi yang rendah, prestasi sekolah yang pas-pasan, kemungkinan anak akan drop- out dan harus mempertahan kan hidup dan pengangguran.
Secara tak sadar namun perlahan tapi pasti, para generasi muda dihinggapi dengan idiologi baru dan perilaku umum yang mendidik mereka menjadi bermental instan dan bermental bos. Pemuda menjadi malas bekerja dan malas mengatasi kesulitan, hambatan dan proses pembelajaran tidak diutamakan sehingga etos kerja jadi lemah.
Peran pemuda yang seperti ini adalah peran sebagai konsumen saja, pemuda dan mahasiswa berperan sebagai “penikmat” bukan yang berkontemplasi (pencipta karya). Dapat ditambahkan disini persoalan NARKOBA yang dominan terjadi di kalangan generasi muda yang memunculkan kehancuran besar bagi bangsa Indonesia.
Sudah lebih dari 60 tahun bangsa Indonesia merdeka, sistem pendidikan telah dibaharui agar mampu menjawab berbagai perubahan diseputaran kehidupan umat manusia. Tetapi selesai kuliah barisan penganggur berderet-deret. Para penganggur dan setengah penganggur yang tinggi merupakan pemborosan-pemborosan sumber daya, mereka menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan yang dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal dan penghambat pembangunan dalam jangka panjang.
PEMUDA DAN IDENTITAS
Pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda
Rangkaian kebijaksanaan pokok dalam pembangunan di bidang pendidikan dan pembinaan generasi muda dalam Repelita II mencakup sejumlah kegiatan lanjutan, perluasan dan peningkatan berbagai usaha selama Repelita I. Hal ini dilaksanakan dalam rangka pemecahan keseluruhan masalah yang mendesak secara lebih mendasar. Masalah-masalah di bidang pendidikan dan pembinaan generasi muda antara lain menyangkut perluasan dan pemerataan kesempatan belajar, peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, keserasian (relevansi) pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, tepat guna dan hasil guna pengelolaan sistim pendidikan, peningkatan dan perluasan pendidikan luar sekolah, pembinaan generasi muda pada umumnya, pembinaan olah raga, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan dan pembinaan generasi muda. Berbagai masalah tersebut berkaitan satu sama lain sehingga keseluruhan kebijaksanaan dalam mengatasinya secara lebih mendasar dengan sendirinya merupakan suatu kebulatan pula.Langkah-langkah kebijaksanaan yang digariskan dalam Repelita II telah mengarahkan penyusunan program-program utama untuk mencapai sasaran-sasaran pokok di bidang pembangunan pendidikan dan pembinaan generasi muda melalui pelaksanaan rencana tahunan. Garis-garis kebijaksanaan terse-but antara lain adalah sebagai berikut:
Perluasan dan pemerataan kesempatan belajar
Usaha perluasan dan pemerataan kesempatan belajar sebagai pencerminan dari azas keadilan sosial ditujukan terutama pada Sekolah Dasar, yaitu dengan membangun gedung-gedung SD baru yang dapat menjamin perluasan daya tampung SD untuk 85% dari seluruh anak umur 7 — 12 tahun yang pada akhir Repelita II diperkirakan berjumlah 23,0 juta. Sehubungan dengan ini, perhatian khusus diberikan pula pada penyediaan guru guru SD yang bermutu dalam jumlah yang memadai sesuai dengan perluasan kesempatan belajar pada SD.
Demikian pula kesempatan belajar pada sekolah lanjutan pertama bagi lulusan SD akan diperbesar dengan sekaligus memperhitungkan kenaikan proporsi lulusan SD yang ingin melanjutkan pelajaran ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada tingkat sekolah lanjutan atas, khususnya daya tampung Sekolah Pendidikan Guru (SPG) akan ditingkatkan sesuai dengan kebijaksanaan perluasan pendidikan dasar yang memerlukan guru tambahan. Dalam pada itu kapasitas Sekolah Teknik Menengah (STM) dan sekolah-sekolah kejuruan lainnya akan ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan terhadap tenaga trampil dan bermutu. Selanjutnya, pada tingkat pendidikan tinggi, perluasan kesempatan studi akan lebih diarahkan kepada bidang-bidang studi tertentu yang selama ini relatif belum mencukupi.
Dalam pada itu, kebijaksanaan pemerataan kesempatan belajar ditunjang pula oleh kebijaksanaan pengadaan berbagai jenis beasiswa di semua jenis dan tingkat pendidikan, terutama untuk para pelajar dan mahasiswa yang berbakat atau mampu berprestasi namun keadaan sosial ekonominya relatif lemah.
b. Peningkatan mutu pendidikan
Peningkatan mutu pendidikan untuk semua jenis dan tingkat pendidikan dilakukan antara lain melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
(1) pengembangan kurikulum termasuk cara penyajian pelajaran dan sistim studi pada umumnya;
(2) pengadaan buku-buku pelajaran pokok beserta buku pedoman guru (Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa) pada SD dan sekolah-sekolah lanjutan, buku-buku pelajaran kejuruan dan teknik untuk sekolahsekolah yang memerlukannya dan buku-buku perpustakaan dalam berbagai bidang studi pada pendidikan tinggi;
(3) pengadaan alat-alat peraga dan alat-alat pendidikan lainnya pada SD, Taman Kanak-kanak dan Sekolah Luar Biasa, laboratorium IPA pada sekolah-sekolah lanjutan umum (SMP dan SMA), fasilitas dan perlengkapan latihan dan praktek pada sekolah-sekolah kejuruan dan teknik, serta laboratorium-laboratorium untuk berbagai bidang ilmu pada pendidikan tinggi;
(4) penataran guru dan dosen secara terarah sesuai dengan keperluan dan prioritas peningkatan mutu pendidikan pada setiap jenis dan tingkat pendidikan;
(5) pengadaan buku-buku bacaan yang sehat .dan bermutu melalui perpustakaan sekolah untuk SD dan sekolah-sekolah lanjutan dalam rangka merangsang minat baca para anak didik dan siswa serta kalangan remaja dan pemuda pada umumnya.
c. Peningkatan relevansi pendidikan
Perluasan dan peningkatan mutu pendidikan sebagaimana diutarakan di atas diusahakan untuk lebih langsung dikaitkan dengan pengembangan kesempatan kerja, termasuk meningkatkan prakarsa membuka lapangan kerja sendiri oleh para lulus-an sekolah, sesuai dengan arah pengembangan generasi muda yang sanggup berdiri sendiri. Sekolah-sekolah kejuruan dan teknik akan lebih dikembangkan polanya sehingga menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang diperlukan oleh pembangunan. Untuk itu, dunia usaha dan sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja diikut sertakan sepenuhnya di dalam latihan-latihan ketrampilan kejuruan dan teknik.
Keserasian sistim pendidikan dengan kebutuhan pembangunan diusahakan pula dengan menambahkan mata pelajaran kerajinan tangan (prakarya) serta fasilitas pendidikan ketrampilan lainnya pada pendidikan umum. Untuk mengusahakan agar mahasiswa memperoleh latihan yang sesuai dengan kenyataan dan kemajuan pembangunan diselenggarakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai bagian yang integral dari kurikulum Perguruan Tinggi.
d. Peningkatan pengelolaan sistim pendidikan
Usaha dalam lapangan ini diperlukan agar dana dan tenaga yang tersedia dapat digunakan secara tepat dan berhasil guna dalam usaha perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu dan peningkatan relevansi pendidikan. Kebijaksanaan dan tata cara kerja yang dikembangkan antara lain meliputi pe-ngembangan kemampuan tenaga pimpinan dalam jumlah yang memadai dan mutu yang baik, kelancaran komunikasi dalam struktur pengorganisasian yang tepat dan terarah, sinkronisasi berbagai kegiatan pendidikan dan latihan sesuai dengan pembagian tugas dan tanggung-jawab fungsionil pembinaan pendidikan dan latihan, serta pengawasan pelaksanaan, baik dalam arti keuangan dan penggunaan biaya maupun teknis operasionil dari pelaksanaan proyek dan program.
e. Pendidikan di luar sekolah
Pendidikan di luar sekolah ditingkatkan antara lain melalui usaha pemulihan kemampuan aksarawan yang ada dan menghasilkan aksarawan-aksarawan baru dengan disertai penyediaan bahan bacaan pengetahuan praktis. Kegiatan ini diserasikan pula dengan usaha-usaha penerangan dan penyuluhan dalam berbagai bidang pembangunan masyarakat. Di samping itu di*lakukan pula usaha-usaha pembinaan keluarga sejahtera. Selanjutnya diselenggarakan berbagai kegiatan latihan dan kursus pendidikan masyarakat yang bertujuan memberikan berbagai ketrampilan dasar terutama bagi para remaja yang tidak sepenuhnya berkesempatan mengikuti atau melanjutkan pendidikan sekolah.
f. Pembinaan generasi muda
Pembinaan generasi muda pada umumnya bertalian erat baik dengan usaha-usaha pendidikan sekolah (pendidikan for-mil) maupun dengan kegiatan pendidikan luar sekolah (non- formil). Pengembangan kehidupan berorganisasi di kalangan generasi muda dilakukan dalam lingkungan sekolah dan kampus begitu pula di kalangan masyarakat luas (dalam kepramukaan ataupun organisasi kepemudaan lainnya).
Kebijaksanaan pengembangan generasi muda dilakukan secara terkoordinasi, terarah, integral dan komprehensif. Hal ini berarti bahwa antara satu organisasi/lembaga dengan organisasi/lembaga lainnya dibina hubungan saling mengisi dan saling membantu dalam rangka meningkatkan integrasi pemuda dalam pelaksanaan program-program pembangunan serta partisipasinya dalam proses pembangunan pada umumnya.
g. Pembinaan olahraga
Usaha di bidang pembinaan olah raga bertujuan meningkatkan kondisi fisik di samping meningkatkan mutu prestasi keolah-ragaan. Untuk mencapai tujuan tersebut diusahakan pe- *ningkatan program-program kesegaran jasmani dan latihan/ perlombaan olah-raga yang diikuti oleh sebanyak mungkin peserta di samping peningkatan prestasi berbagai cabang olah raga secara kontinu dan berjenjang.
Dalam rangka kebijaksanaan tersebut disediakan alat-alat olah raga di sekolah-sekolah, serta penyelenggaraan pertandingan-pertandingan olah raga di kalangan siswa, generasi muda dan masyarakat luas. Suatu bentuk senam pagi khas Indonesia dikembangkan pula untuk disebarluaskan kepada seluruh masyarakat.
h. Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan bidang pendidikan dan pembinaan generasi muda antara lain diwujudkan melalui pelaksanaan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP’) yang telah ditinjau kembali sehingga lebih sesuai dengan kenyataan kemampuan orang tua serta lebih wajar, adil dan efektif. Di samping itu diusahakan menggairahkan pengikutsertaan masyarakat luas termasuk dunia usaha melalui Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Usaha-usaha pe*nyempurnaan SPP dan BP3 tersebut akan terus dilanjutkan sehingga kerjasama antara keluarga, masyarakat dan Pemerintah dapat dibina.
Dua pengertian pokok
pembinaan dan pengembangan generasi muda
Pengertian pokok pembinaan dan pengembangan Generasi
Muda ada dua yaitu :
-
Generasi Muda sebagai Subyek
Generasi Muda subyek adalah mereka yang telah dibekali
ilmu dan kemampuan serta landasan untuk dapat mandiri dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi bangsa, dalam rangka kehidupan berbangsa
bernegara serta pembangunan nasional.
-
Generasi Muda sebagai Obyek
Generasi Muda Obyek adalah mereka yang masih
memerlukan bimbingan yang mengarah kan kepada pertumbuhan potensi menuju ke
tingkat yang maksimal dan belum dapat mandiri secara fungsional di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara serta pembangunan nasional.
MASALAH DAN POTENSI GENERASI MUDA
GENERASI MUDA menurutku sebuah harapan bagi sebuah keluarga,
masyarakat, agama, dan tentunya bangsa. Karena mereka lah yang
akan menggantikan senior-seniornya yang lebih tua. Jelas ini sebuah harapan
untuk kedepannya agar lebih baik lagi. Potensi yang dimiliki untuk
memperjuangkan sebuah bangsa sangatlah tinggi, terlebih jika di didik dari
kecil rasa nasionalisme yang tinggi maka Generasi Mudalah yang akan
mensejahterakan rakyat. Namun banyak masalah-masalah yang dihadapi oleh
GENERASI MUDA. Dimana mereka masih labil dalam memilih sebuah keputusan yang
benar. Akibatnya banyak sekali GENERASI MUDA saat ini yang mengecewakan Agama,
Masyarakat, Bangsa dan tentunya yang utama yaitu Keluarga.
Masalah Generasi Muda
- Akhlak yang kurang dimiliki oleh setiap GENERASI MUDA,
- Kurangnya rasa nasionalisme terhadap suatu negara,
- Pergaulan bebas masih menghantui,
- Pendidikan yang kurang menyebabkan banyaknya pengangguran,
- Banyaknya perkawinan di bawah umur,
- Banyaknya minuman keras dan obat-obatan yang di konsumsi sehingga menghambat pemikirannya ke jalan yang benar.
Potensi Generasi Muda
- Semangat yang membara dalam melakukan sesuatu,
- Kreatifitas dengan berbagai inovasi hingga memunculkan ide-ide yang bermanfaat bagi bangsa dan negara,
- Rasa ingin tahu yang tinggi dalam melakukan hal yang baik,
- Kemandirian dalam menjalani hidup sehingga bisa di tularkan dalam masyarakat dan negara
- Membangun negara ini lebih baik dan fress dari Generasi Sebelumnya.
Sosialisasi mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. memberikan keterampilan kepada seseorang untuk dapat hidup bermasyarakat
b. mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara efektif
c. membantu mengendalikan fungsi-fungsi organic yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.
d. Membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada di masyarakat.
Mengembangkan
Potensi Generasi Muda
Sejak akhir dekade 1990-an, telah terjadi berbagai
fenomena yang mendorong perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, termasuk dalam hal tata kepemerintahan. Globalisasi yang turut
membawa konsep-konsep baru dalam pola hubungan negara (state) dan masyarakat
(society) menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi terjadinya demokratisasi
di sejumlah negara, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Secara demikian, negara tidak lagi dipandang sebagai organisasi yang harus mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Pandangan terhadap negara mulai bergeser dengan menempatkan negara menjadi suatu otoritas yang berperan sebagai fasilitator bagi berbagai kepentingan di masyarakat. Konsep ini menempatkan masyarakat dalam posisi yang sejajar dalam konteks hubungan negara dan masyarakat.
Secara demikian, negara tidak lagi dipandang sebagai organisasi yang harus mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Pandangan terhadap negara mulai bergeser dengan menempatkan negara menjadi suatu otoritas yang berperan sebagai fasilitator bagi berbagai kepentingan di masyarakat. Konsep ini menempatkan masyarakat dalam posisi yang sejajar dalam konteks hubungan negara dan masyarakat.
Dengan memperhatikan permasalahan di atas, maka tema sentral dari orasi ini adalah bagaimana membangun Generasi Muda yang Progresif, Agamis dan Nasionalis?
Secara demikian, negara tidak lagi dipandang sebagai organisasi yang harus mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Pandangan terhadap negara mulai bergeser dengan menempatkan negara menjadi suatu otoritas yang berperan sebagai fasilitator bagi berbagai kepentingan di masyarakat. Konsep ini menempatkan masyarakat dalam posisi yang sejajar dalam konteks hubungan negara dan masyarakat.
Secara demikian, negara tidak lagi dipandang sebagai organisasi yang harus mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Pandangan terhadap negara mulai bergeser dengan menempatkan negara menjadi suatu otoritas yang berperan sebagai fasilitator bagi berbagai kepentingan di masyarakat. Konsep ini menempatkan masyarakat dalam posisi yang sejajar dalam konteks hubungan negara dan masyarakat.
Dengan memperhatikan permasalahan di atas, maka tema sentral dari orasi ini adalah bagaimana membangun Generasi Muda yang Progresif, Agamis dan Nasionalis?
- Generasi Muda yang Progresif
Generasi
muda memiliki kecenderungan untuk bersikap antusias dalam menghadapi berbagai
isu, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kehidupan mereka
sehari-hari. Selain itu, idealisme yang terkandung dalam jiwa dan pikiran
generasi muda memungkinkan generasi muda untuk memainkan peranan penting dalam
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Karena sifatnya ini, generasi muda
menjadi kelompok yang potensial untuk mendukung pembangunan.
Dengan demikian, generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan pembangunan, sehingga pelayanan dapat lebih disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai. Namun demikian, progresifitas generasi muda tidak hanya penting dalam kerangka pemberdayaan generasi muda, tapi juga memberikan kontribusi bagi penyiapan generasi selanjutnya, serta regenerasi kepemimpinan di masa mendatang.
Generasi muda yang progresif di sisi lain di tandai dengan generasi muda yang mau untuk berfikir diluar “pakem” yang telah membudaya (think out the box), guna “menciptakan” atau sekedar eksplorasi guna menemukan hal-hal baru yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, generasi muda yang progresif adalah generasi muda yang mampu dan dapat berfikir kritis dalam menghadapi realitas sosial politik yang sedang terjadi.
Peran generasi muda juga menjadi penting bagi masa depan daerah-daerah yang pernah, misalnya, mengalami konflik. Sifat menghargai dan keterbukaan terhadap berbagai ide dan budaya dapat menjembatani beragam etnis, ras, kelompok-kelompok sosial dan politik. Dengan memanfaatkan potensi ini, diharapkan ada sebuah peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih damai bagi generasi berikutnya.
Dalam kaitannya dengan progresifitas generasi muda, peran generasi muda seyogyanya didorong melalui 5 (lima) strategi berikut, yaitu:
Pertama, mendorong pelibatan generasi muda dalam proses pengambilan keputusan:
Generasi muda hendaknya ditempatkan dan berusaha menempatkan diri dalam posisi strategis agar aspirasinya didengar khususnya dalam pembuatan kebijakan yang secara langsung terkait dengan kebutuhannya. Generasi muda perlu diberi ruang untuk mengekspresikan pandangan mereka dan berkontribusi bagi pembuatan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung terkait dengan masalah kepemudaan.
Kedua, mengembangkan kemampuan kewirausahaan:
Semangat kewirausahaan (enterpreunerships) dapat mendorong generasi muda untuk mampu bertahan manakala memasuki dunia usaha. Secara tidak langsung, upaya ini dapat membantu meminimalkan tingkat pengangguran bagi daerah dan terutama sekali bagi bangsa.
Ketiga, memaksimalkan peran generasi muda dalam mengatasi hambatan-hambatan budaya, etnis, dan ras:
Melalui komunikasi antargenerasi dari beragam latarbelakang budaya, etnis, dan ras, generasi muda dapat membangun jaringan (networking) untuk saling tukar-menukar informasi dan kerjasama antarbudaya. Pengenalan budaya ini dapat membantu terwujudnya saling pengertian antar generasi muda.
Keempat, memberdayakan generasi muda dalam pembangunan:
Generasi muda merupakan salah satu unsur penting yang menunjang pelaksanaan pembangunan sehingga perlu ada upaya pemberdayaan yang terencana dan komprehensif untuk memaksimalkan kemampuan generasi muda.
Kelima, menempatkan generasi muda sebagai visi pembangunan:
Karena generasi muda merupakan aktor penting sekaligus penerima manfaat dari pelaksanaan pembangunan, maka perlu ada upaya untuk merancang pelibatan generasi muda dalam sasaran dan penyusunan program-program pembangunan. Secara demikian, progresifitas generasi muda akan kentara secara nyata.
Dengan demikian, generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap perencanaan pembangunan, sehingga pelayanan dapat lebih disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai. Namun demikian, progresifitas generasi muda tidak hanya penting dalam kerangka pemberdayaan generasi muda, tapi juga memberikan kontribusi bagi penyiapan generasi selanjutnya, serta regenerasi kepemimpinan di masa mendatang.
Generasi muda yang progresif di sisi lain di tandai dengan generasi muda yang mau untuk berfikir diluar “pakem” yang telah membudaya (think out the box), guna “menciptakan” atau sekedar eksplorasi guna menemukan hal-hal baru yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, generasi muda yang progresif adalah generasi muda yang mampu dan dapat berfikir kritis dalam menghadapi realitas sosial politik yang sedang terjadi.
Peran generasi muda juga menjadi penting bagi masa depan daerah-daerah yang pernah, misalnya, mengalami konflik. Sifat menghargai dan keterbukaan terhadap berbagai ide dan budaya dapat menjembatani beragam etnis, ras, kelompok-kelompok sosial dan politik. Dengan memanfaatkan potensi ini, diharapkan ada sebuah peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih damai bagi generasi berikutnya.
Dalam kaitannya dengan progresifitas generasi muda, peran generasi muda seyogyanya didorong melalui 5 (lima) strategi berikut, yaitu:
Pertama, mendorong pelibatan generasi muda dalam proses pengambilan keputusan:
Generasi muda hendaknya ditempatkan dan berusaha menempatkan diri dalam posisi strategis agar aspirasinya didengar khususnya dalam pembuatan kebijakan yang secara langsung terkait dengan kebutuhannya. Generasi muda perlu diberi ruang untuk mengekspresikan pandangan mereka dan berkontribusi bagi pembuatan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung terkait dengan masalah kepemudaan.
Kedua, mengembangkan kemampuan kewirausahaan:
Semangat kewirausahaan (enterpreunerships) dapat mendorong generasi muda untuk mampu bertahan manakala memasuki dunia usaha. Secara tidak langsung, upaya ini dapat membantu meminimalkan tingkat pengangguran bagi daerah dan terutama sekali bagi bangsa.
Ketiga, memaksimalkan peran generasi muda dalam mengatasi hambatan-hambatan budaya, etnis, dan ras:
Melalui komunikasi antargenerasi dari beragam latarbelakang budaya, etnis, dan ras, generasi muda dapat membangun jaringan (networking) untuk saling tukar-menukar informasi dan kerjasama antarbudaya. Pengenalan budaya ini dapat membantu terwujudnya saling pengertian antar generasi muda.
Keempat, memberdayakan generasi muda dalam pembangunan:
Generasi muda merupakan salah satu unsur penting yang menunjang pelaksanaan pembangunan sehingga perlu ada upaya pemberdayaan yang terencana dan komprehensif untuk memaksimalkan kemampuan generasi muda.
Kelima, menempatkan generasi muda sebagai visi pembangunan:
Karena generasi muda merupakan aktor penting sekaligus penerima manfaat dari pelaksanaan pembangunan, maka perlu ada upaya untuk merancang pelibatan generasi muda dalam sasaran dan penyusunan program-program pembangunan. Secara demikian, progresifitas generasi muda akan kentara secara nyata.
- Generasi Muda yang Agamis dan Berbudaya
Generasi muda yang agamis ditandai dengan laku dan
tindak dari pemuda yang dilandasi oleh moral-moral normatif agama. Pada
intinya, setiap agama mengajarkan keselarasan guna menuju kehidupan yang lebih
baik. Yang membedakan diantara agama-agama tersebut hanyalah cara untuk
menggapai keselarasan kebahagaiaan tersebut.
Generasi muda yang agamis menurut Azyumardi Azra dapat dilihat dari tiga kategori, pertama, generasi muda yang memiliki visi, yakni generasi muda yang mau membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, generasi muda yang memiliki nilai, yaitu berupa usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al-Qur’an. Ketiga, generasi muda yang memiliki keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan dalam pemberdayaan umat.
Generasi muda secara agamis dan berbudaya dalam arti luas dapat dipandang sebagai proses pengembangan potensi diri manusia yang telah ada secara alami. Potensi diri yang dimaksud adalah kemampuan intelejensia, emosional, spiritual, dan aksional. Usaha peningkatan potensi diri tersebut diupayakan agar mencapai kemampuan yang dikehendaki sampai derajat tertentu. Pada masyarakat Sunda, seseorang bisa dikatakan memiliki potensi diri berdasarkan derajat yang diharapkan jika memenuhi adeg-adeg manusia Sunda sebagai berikut:
Luhung elmuna yaitu generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan memiliki daya saing tinggi;
Pengkuh agamana yaitu generasi muda yang memiliki keimanan dan ketakwaan (imtak);
Jembar budayana yaitu generasi muda yang “tidak gagap budaya”, tidak kehilangan jati diri, dan memegang teguh prinsip pribadinya;
Rancage gawena yaitu generasi muda yang berprestasi, berprilaku aktif, mampu mengimplementasikan berbagai program kerja dengan baik, ngigelan jeung ngigel keun jaman.
Manusia yang demikian pada dasarnya adalah manusia yang mengemban kewajiban moral dalam kehidupannya sehari-hari. Bentuk kewajiban moral yang ada pada insan nonoman sunda meliputi:
MMT: Moral Manusia terhadap Tuhannya, ditandai oleh kualitas imtak, berupa pengembangan sebagai generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beriman kepada-Nya, mengajarkan ajaran-ajaran-Nya dalam segala aspek kehidupan;
MMP: Moral Manusia terhadap Pribadinya, ditandai oleh kualitas sumber daya manusia/ilmu pengetahuan dan teknologi (SDM/Iptek), berupa dorongan untuk memelihara dirinya, dorongan untuk melindungi dirinya, dan dorongan untuk mengungkapkan dirinya;
MMM: Moral Manusia terhadap Manusia lainnya, ditandai oleh kemampuan bersosialisasi, hablum minannas;
MMA: Moral Manusia terhadap Alam, ditandai oleh kesadaran terhadap ekologi dan lingkungannya, pengembangan sebagai insan sosial ekonomi, dan orientasi terhadap masa depan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap situasi masa kini dalam kaitan dan hubungannya dengan masa depan;
MMW: Moral Manusia terhadap Waktu, ditandai oleh kesadaran terhadap waktu, hidupnya akan memiliki visi, misi, dan strategi. Empat kesadaran terhadap waktu tersebut adalah:
a. Waktu mendapat nikmat dan kebahagiaan; mampu bersyukur;
b. Waktu mendapat ujian dan penderitaan; ridha, tabah, dan sabar.
c. Waktu dalam ketaatan, ditandai oleh sikap istiqamah
d. Waktu terjerumus bermaksiat, mampu sadar, bertaubat, dan menyesali perbuatannya .
f. MMLB: Moral Manusia Lahir Batin, ditandai oleh kesadaran beretika, tahu batas, mempunyai rasa malu, adil, jujur, amanah, dan selalu berhati-hati.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata.
Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian, ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap sikap dan nasionalisme generasi muda sangat berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu generasi muda akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam generasi muda tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik setiap generasi muda.
Tanda pertama pertumbuhan nasionalisme sebagai sebuah ideologi sudah bisa dijejaki pada era Renaissance (tepat ketika terjadi pembakaran reformator agama Jan Hus di Konsili Konstanz, terjadi pula perang Hussit di Bohemia dan Moravia yang menajamkan kesadaran nasional orang Ceko; reformasi Martin Luther dan nada anti-Roma serta terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Jerman telah menumbuhkan kesadaran orang-orang Jerman sebagai orang Jerman).
Nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya telah ada sejak pasca revolusi Perancis. Dalam paham Jean Jacques Rousseau tentang kedaulatan rakyat, dia mengetengahkan paham tentang ”bangsa”. Pada era romantik (1700 – 1800an) konsep kebangsaan dilihat sebagai sumber masyarakat, (Adams, 2004).
Sejak abad ke-19, nasionalisme telah menjadi motivasi dan sikap politik bangsa di Eropa. Pada awal abad 20, paham nasionalisme berpuncak pada Perang Dunia I dengan mewujudkan peta geo-politik Eropa sampai sekarang, aliansi Jerman-Italia, pembebasan Yunani-Bulgaria-Serbia dari Turki serta kemerdekaan di beberapa negara bagian Slavia dari imperialisme Austria, Turki, Rusia dan Jerman. Pada permulaan abad ke 20, gelombang nasionalisme terasa di wilayah dunia ketiga. Nasionalisme menjadi senjata moral ampuh untuk melegitimasi perjuangan kemerdekaan.
Secara umum, peran nyata para generasi muda terdiri dari 5 gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 20 tahun sekali yang dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 1945, bangkitnya orde baru 1966, dan bangkitnya orde reformasi 1998. Kapan dan apa visi & misi pemuda dalam nasionalisme pada masa sekarang dan yang akan datang?.
Generasi muda atau pemuda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya. Generasi muda mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya. Generasi muda adalah motor penggerak utama perubahan. Generasi muda diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan negaranya. Namun, secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana definisi itu. Nasionalisme tidak seperti bangunan statis, tetapi selalu dialektis dan interpretatif, sebab nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidupnya. Terbukti dalam sejarah Indonesia, kebangkitan rasa nasionalisme didaur ulang kembali oleh para generasi muda, karena mereka merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya.
Sejumlah pakar menilai prinsip nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Jika kondisi dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Degradasi nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia muncul karena kegagalan dalam merevitalisasi dan mendefinisikan pemahaman nasionalisme. Generasi muda Indonesia umumnya belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa.
Generasi muda yang agamis menurut Azyumardi Azra dapat dilihat dari tiga kategori, pertama, generasi muda yang memiliki visi, yakni generasi muda yang mau membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, generasi muda yang memiliki nilai, yaitu berupa usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al-Qur’an. Ketiga, generasi muda yang memiliki keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan dalam pemberdayaan umat.
Generasi muda secara agamis dan berbudaya dalam arti luas dapat dipandang sebagai proses pengembangan potensi diri manusia yang telah ada secara alami. Potensi diri yang dimaksud adalah kemampuan intelejensia, emosional, spiritual, dan aksional. Usaha peningkatan potensi diri tersebut diupayakan agar mencapai kemampuan yang dikehendaki sampai derajat tertentu. Pada masyarakat Sunda, seseorang bisa dikatakan memiliki potensi diri berdasarkan derajat yang diharapkan jika memenuhi adeg-adeg manusia Sunda sebagai berikut:
Luhung elmuna yaitu generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan memiliki daya saing tinggi;
Pengkuh agamana yaitu generasi muda yang memiliki keimanan dan ketakwaan (imtak);
Jembar budayana yaitu generasi muda yang “tidak gagap budaya”, tidak kehilangan jati diri, dan memegang teguh prinsip pribadinya;
Rancage gawena yaitu generasi muda yang berprestasi, berprilaku aktif, mampu mengimplementasikan berbagai program kerja dengan baik, ngigelan jeung ngigel keun jaman.
Manusia yang demikian pada dasarnya adalah manusia yang mengemban kewajiban moral dalam kehidupannya sehari-hari. Bentuk kewajiban moral yang ada pada insan nonoman sunda meliputi:
MMT: Moral Manusia terhadap Tuhannya, ditandai oleh kualitas imtak, berupa pengembangan sebagai generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beriman kepada-Nya, mengajarkan ajaran-ajaran-Nya dalam segala aspek kehidupan;
MMP: Moral Manusia terhadap Pribadinya, ditandai oleh kualitas sumber daya manusia/ilmu pengetahuan dan teknologi (SDM/Iptek), berupa dorongan untuk memelihara dirinya, dorongan untuk melindungi dirinya, dan dorongan untuk mengungkapkan dirinya;
MMM: Moral Manusia terhadap Manusia lainnya, ditandai oleh kemampuan bersosialisasi, hablum minannas;
MMA: Moral Manusia terhadap Alam, ditandai oleh kesadaran terhadap ekologi dan lingkungannya, pengembangan sebagai insan sosial ekonomi, dan orientasi terhadap masa depan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap situasi masa kini dalam kaitan dan hubungannya dengan masa depan;
MMW: Moral Manusia terhadap Waktu, ditandai oleh kesadaran terhadap waktu, hidupnya akan memiliki visi, misi, dan strategi. Empat kesadaran terhadap waktu tersebut adalah:
a. Waktu mendapat nikmat dan kebahagiaan; mampu bersyukur;
b. Waktu mendapat ujian dan penderitaan; ridha, tabah, dan sabar.
c. Waktu dalam ketaatan, ditandai oleh sikap istiqamah
d. Waktu terjerumus bermaksiat, mampu sadar, bertaubat, dan menyesali perbuatannya .
f. MMLB: Moral Manusia Lahir Batin, ditandai oleh kesadaran beretika, tahu batas, mempunyai rasa malu, adil, jujur, amanah, dan selalu berhati-hati.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata.
Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian, ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap sikap dan nasionalisme generasi muda sangat berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu generasi muda akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam generasi muda tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik setiap generasi muda.
Tanda pertama pertumbuhan nasionalisme sebagai sebuah ideologi sudah bisa dijejaki pada era Renaissance (tepat ketika terjadi pembakaran reformator agama Jan Hus di Konsili Konstanz, terjadi pula perang Hussit di Bohemia dan Moravia yang menajamkan kesadaran nasional orang Ceko; reformasi Martin Luther dan nada anti-Roma serta terjemahan Kitab Suci dalam bahasa Jerman telah menumbuhkan kesadaran orang-orang Jerman sebagai orang Jerman).
Nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya telah ada sejak pasca revolusi Perancis. Dalam paham Jean Jacques Rousseau tentang kedaulatan rakyat, dia mengetengahkan paham tentang ”bangsa”. Pada era romantik (1700 – 1800an) konsep kebangsaan dilihat sebagai sumber masyarakat, (Adams, 2004).
Sejak abad ke-19, nasionalisme telah menjadi motivasi dan sikap politik bangsa di Eropa. Pada awal abad 20, paham nasionalisme berpuncak pada Perang Dunia I dengan mewujudkan peta geo-politik Eropa sampai sekarang, aliansi Jerman-Italia, pembebasan Yunani-Bulgaria-Serbia dari Turki serta kemerdekaan di beberapa negara bagian Slavia dari imperialisme Austria, Turki, Rusia dan Jerman. Pada permulaan abad ke 20, gelombang nasionalisme terasa di wilayah dunia ketiga. Nasionalisme menjadi senjata moral ampuh untuk melegitimasi perjuangan kemerdekaan.
Secara umum, peran nyata para generasi muda terdiri dari 5 gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 20 tahun sekali yang dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 1945, bangkitnya orde baru 1966, dan bangkitnya orde reformasi 1998. Kapan dan apa visi & misi pemuda dalam nasionalisme pada masa sekarang dan yang akan datang?.
Generasi muda atau pemuda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya. Generasi muda mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya. Generasi muda adalah motor penggerak utama perubahan. Generasi muda diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan negaranya. Namun, secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana definisi itu. Nasionalisme tidak seperti bangunan statis, tetapi selalu dialektis dan interpretatif, sebab nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidupnya. Terbukti dalam sejarah Indonesia, kebangkitan rasa nasionalisme didaur ulang kembali oleh para generasi muda, karena mereka merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya.
Sejumlah pakar menilai prinsip nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Jika kondisi dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Degradasi nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia muncul karena kegagalan dalam merevitalisasi dan mendefinisikan pemahaman nasionalisme. Generasi muda Indonesia umumnya belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa.
Degradasi nasionalisme dalam diri generasi muda
Indonesia kondisinya semakin parah karena belum adanya pembaharuan atas
pemahaman dan prinsip nasionalisme dalam diri generasi muda. Kegagalan
meredefinisi nilai-nilai nasionalisme telah menyebabkan hingga kini belum lahir
sosok generasi muda Indonesia yang dapat menjadi teladan. Akibatnya peran orang
tua masih sangat mendominasi segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
PENDIDIKAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya dan masyarakat.PENDIDIKAN
Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan
dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:
- Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
- Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
- Melestarikan kebudayaan.
- Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi laten lembaga pendidikan adalah sebagai
berikut.
- Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
- Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
- Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
- Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Menurut David Popenoe,
ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
- Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
- Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
- Menjamin integrasi sosial.
- Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
- Sumber inovasi sosial.
PERGURUAN TINGGI
Perguruan tinggi adalah satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Peserta didik
perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga
pendidik perguruan tinggi disebut dosen. Menurut jenisnya,
perguruan tinggi dibagi menjadi dua:
- Perguruan tinggi negeri adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
- Perguruan
tinggi swasta adalah perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pihak
swasta.
DAFTAR PUSTAKA
wikipedia.com
http://agusramdanirekap.blogspot.com/2012/01/masalah-dan-potensi-generasi-muda.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1943455-tujuan-sosialisasi/
http://adajendeladunia.blogspot.com/2011/12/mengembangkan-potensi-generasi-muda.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar